Sabtu, 17 Oktober 2020

Teknik Sampling Limbah Cair

Teknik Sampling Limbah Cair Acuan SNI 6989.59:2008

I.  Pendahuluan

limbah merupakan sisa atau buangan dari industri maupun dari rumah tangga.  Limbah cair merupakan bahan buangan yang berbentuk cairan. 
teknik sampling adalah bagian dari metodologi statistika yang berhubungan dengan metode prosedur sistematis dalam pengambilan sebagian sampel untuk penelitian atau pendugaan. Dalam artikel kali ini akan membahas terkait teknik sampling dengan acuan SNI 6989.59:2008

II.  Pembahasan

A.  Alat pengambil sampel


Alat pengambil sampel 
1. Alat pengambil contoh
-alat pengambil contoh sederhana dapat berupa ember plastik yang diberi tali, gayung yang memiliki tangkai atau botol dengan pemberat tertentu
-alat pengambil contoh otomatis merupakan alat  yang dilengkapi dengan pengatur waktu dan volume
2. Alat pengukur parameter lapangan
3. Alat pendingin, untuk menyimpan contoh pengujian fisika dan kimia
4. Alat ekstraksi, untuk memisahkan larutan dari contoh
5. Alat penyaring

B.  Lokasi dan titik pengambilan
C.  Waktu pengujian

waktu pengujian sebaik nya dilakukan tidak lama setelah sampel atau contoh diambil.  Hal ini karena kandungan yang terdapat pada contoh bisa jadi memiliki waktu simpan yang tidak lama. 


Berikut ini tabel cara pengawetan dan penyimpanan contoh air limbah :









Minggu, 04 Oktober 2020

Analisis Parameter Baku Mutu BOD, COD dan TSS

Pengolahan Limbah Karet Dengan Fitoremidiasi Menggunakan Tanaman Typha angustifolia

I. Pendahuluan

Pesatnya perkembangan industri yang ada semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Hal ini memberikan dampak besar terhadap lingkungan yaitu pencemaran air, udara, dan tanah akibat limbah yang dihasilkan. Salah satu industri yang menjadi fokus pembahasan adalah industri karet PT. Hok Tong, Siantan yang menyebabkan pencemaran air akibat limbah cair yang dihasilkan. Menurut penelitian Sarengat (2015), industri karet menghasilkan limbah cair dengan konsentrasi BOD5 94-9433 mg/l, COD 120-15069 mg/l dan TSS 30-525 mg/l. Limbah cair tersebut jika dibuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan karena kandungan zat pencemar limbah cair karet berada diatas baku mutu. 

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5 tahun 2014, batas maksimum zat pencemar industri karet adalah BOD5 100 mg/l,COD 250 mg/l, TSS 100 mg/l dan pH 6-9.Akibat tingginya kandungan BOD5, COD, dan TSS yang dihasilkan dalam industri karet ini, maka perlu adanya pengolahan terlebih dahulu agar nantinya limbah yang dibuang tidak lagi mencemari. Metode yang digunakan untuk pengolahan limbah karet dengan fitoremediasi. Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk memperbaiki, mengurangi, ataupun memulihkan lahan tercemar berbagai polutan (Irawanto, 2010). Dalam hal ini digunakan tanaman Typha angustifolia karena selain efektif dalam mereduksi limbah cair juga mempunyai daya tahan yang cukup kuat dan tidak mudah mati (Hidayah dan Wahyu, 2010).

Tahapan pelaksanaan metode fitoremediasi dengan tanaman Typha angustifolia antara lain :

1. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah karet PT. Hok Tong Siantan, tanaman Typha angustifolia dengan berat 4 Kg/Rumpun dan 2 buah bak reaktor batch berbahan kaca dengan ukuran 60 cm x 30 cm x 30 cm,gate valve (stop kran) dan pipa 1 inci.

2. Perlakuan awal

Pertama adalah pembuatan 2 buah bak reaktor constructed wetland dengan model aliran surface wetland menggunakan tanaman Typha angustifolia berdasarkan jumlah daun, batang, dan tinggi tanaman yang sama dengan berat 4 Kg yang akarnya telah dibersihkan dengan air.

3. Aklimatisasi Tanaman

Dalam tahap ini dipilih Typha angustifolia yang saling berdekatan. Setelah itu tanaman Typha angustifolia diseleksi, dicuci dengan air sumur sampai bersih untuk menghilangkan kotoran dalam akar tanaman. Tanaman diaklimatisasi dengan cara ditanam pada bak reaktor yang berisi tanah, pasir dan kerikil ± selama 1 minggu. Tujuan pemeliharaan tanaman Typha angustifolia untuk menstabilkan dan menyesuaikan keadaan lingkungan wetland untuk memulai proses biofilter (Muhajir, 2013).

4. Prosedur Penelitian

Sistem aliran yang digunakan adalah sistem aliran bawah permukaan (Sub Surface Flow Constructed Wetland) dengan merancang bak reaktor dengan panjang 60 cm, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm (Hidayah dan Wahyu, 2010). Bak Reaktor diisi dengan tanaman Typha angustifolia dengan berat 4 kg menurut penelitian Muhajir (2013) dan jarak tiap tanaman 15 cm berdasarkan penelitian Hidayah dan Wahyu (2010). Selanjutnya, limbah industri karet dialirkan ke masing-masing bak reaktor constructed wetland untuk diuji kadar BOD, COD,TSS sebelum perlakuan. Pengujian limbah karet dilakukan terhadap variabel waktu detensi setelah 8 hari proses adaptasi tanaman dengan limbah, yaitu pada hari ke-9, hari ke-12 dan hari ke-15 (Suwondo, dkk, 2014).

5. Analisa Data

Fungsi kecepatan tanaman Typha angustifolia dalam mereduksi pencemar dalam limbah karet (BOD, COD, TSS, dan pH) dapat diketahui setelah melakukan penelitian dan memperoleh datanya. Efisiensi penyisihan zat pencemar dapat diketahui dari perhitungan persentase penyisihan zat pencemar dengan menggunakan rumus :

II. Pembahasan

Kualitas limbah cair industri karet PT. Hok Tong, Siantan sebelum menerapkan
pengolahan limbah dengan metode fitoremediasi diperoleh hasil BOD 508,47 mg/L,  COD 5009,5 mg/L,  dan TSS 806 mg/L. 
Berdasarkan hasil di atas, kualitas limbah karet tidak layak jika langsung dibuang ke perairan karena nilai BOD, COD, dan TSS berada di atas baku mutu. dimana seharusnya sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5 tahun 2014, batas maksimum zat pencemar industri karet adalah BOD5 100 mg/l, COD 250 mg/l, dan TSS 100 mg/l.

A. BOD

BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988;Metcalf & Eddy, 1991).
Berdasarkan hasil pengujian kandungan BOD pada limbah Karet yang diolah menggunakan Tanaman Typha angustifolia pada lahan basah buatan (constructed wetland) selama 15 hari, menunjukan bahwa semakin lama waktu penanaman semakin besar penurunan kadar BOD. Semakin lama waktu kontak antara air limbah dengan biomassa maka proses degradasi bahan pencemar organik dapat berlangsung lebih lama sehingga kinerja reaktor akan semakin baik dan konsentrasi efluen yang dihasilkan juga semakin rendah. Akar tanaman Thypa angustifolia yang panjang dan lebat dapat menjangkau area yang lebih dalam dan luas sehingga dapat lebih banyak menyerap nutrien seperti phospat dan nitrogen dalam tanah serta mentransfer oksigen ke dalam dasar media dan memungkinkan mikroorganisme tumbuh di sekitar perakaran (zona rhizosphere). Kondisi zona rhizosphere yang kaya akan oksigen, menyebabkan terjadinya perkembangan bakteri aerob di zona tersebut.
Adanya proses aklimatisasi tanaman pada awal percobaan, akan memberikan
kesempatan pada bakteri yang terdapat rhizosphere untuk tumbuh dan beradaptasi, sehingga lag phase akan terjadi saat proses aklimatisasi tersebut. Dengan demikian maka pada awal penelitian, pertumbuhan bakteri telah mencapai fase pertumbuhan eksponensial (Exponential growth phase). Kondisi tersebut yang dapat menjelaskan bahwa penurunan BOD pada hari ke-9 penelitian terjadi penurunan yang tajam mencapai 70%. Sedangkan hari pada hari-hari berikutnya sampai hari ke-15 penurunan hanya bertambah 20% dan bakteri diperkirakan telah memasuki fase bertahan (Stasionary Phase). Hari ke-15 nilai BOD limbah karet telah memenuhi baku mutu.
Pengolahan limbah karet dalam penelitian ini, persentase reduksi tertinggi terjadi pada hari ke 15 yaitu mencapai 90,00% dengan nilai BOD 59,31 mg/L. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5 tahun 2014, limbah karet parameter BOD telah mencapai baku mutu.

B. COD

COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan
untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990).
Penurunan konsentrasi COD disebabkan oleh adanya mekanisme aktivitas tanaman dan mikroorganisme. Mikroorganisme yang hidup dalam limbah cair karet akan mendapat suplai oksigen yang berasal dari tanaman di zona rhizosphere. Kondisi zona rhizosphere yang kaya oksigen dapat menyebabkan perkembangan bakteri aerob di zona tersebut semakin pesat. Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan mikroorganisme akan mempercepat proses penguraian konsentrasi COD. Selain itu, penurunan konsentrasi COD juga disebabkan karena adanya waktu detensi yang menyebabkan bahan padatan mulai mengendap sehingga bahan buangan di air limbah menjadi berkurang.
Berdasarkan hasil penelitian, pada hari ke-9 penurunan konsentrasi COD baru
mencapai 4.94 %, artinya proses pertumbuhan mikroorganisme masih sangat rendah di minggu pertama penelitian. Setelah hari ke-9 hingga hari ke-12, laju pertumbuhan mikroorganisme semakin mencapai puncaknya dan penguraian bahan organik semakin besar. Pada hari ke-12 terjadi penurunan COD hingga 77.76% dengan nilai 1114.25 mg/L. Kemudian dari hari ke-12 hingga hari ke-15, pertumbuhan mikroorganisme kembali meningkat dan konsentrasi COD semakin mengalami penurunan mencapai 90.15% dengan nilai 493.3 mg/L. Dari hasil pengujian menunjukan bahwa kadar COD mengalami penurunan yang cukup besar, yaitu mencapai 90,30% dari kadar limbah awal sebesar 5009,5 mg/L menjadi 493,3 mg/L pada hari ke-15.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014, kadar paling tinggi untuk lateks kering sebesar 250 mg/L sedangkan untuk karet bentuk kering sebesar 200 mg/L. Nilai penurunan COD pada penelitian tersebut masih berada di atas baku mutu lingkungan sehingga limbah karet harus dilakukan pengolahan lanjutan. Salah satu cara untuk menurunkan COD dapat dilakukan dengan biosand filter yang merupakan pengembangan dari slow sand filter, dapat menghilangkan bakteri patogen melalui proses yang sama dengan saringan pasir lambat, yaitu dengan cara melewati pasir dalam filter.

C. TSS

TSS atau total suspended solid merupakan tempat terjadinya reaksi - reaksi heterogen , yang fungsinya sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Abdi,2017). Konsentrasi TSS yang tinggi dapat menurunkan aktivitas fotosintesis tumbuhan air
sehingga oksigen yang dilepaskan tumbuhan menjadi berkurang dan mengakibatkan ikan - ikan mati serta kualitas air menjadi turun. Kisaran TSS dapat menunjukkan kondisi sedimentasi suatu perairan. Perairan yang memiliki konsentrasi TSS yang tinggi cenderung mengalami sedimentasi yang tinggi.
Limbah karet yang diolah menggunakan tanaman Typha Angustifolia pada lahan basah buatan mengalami penurunan yang signifikan. Sebelum diolah, kandungan TSS pada limbah karet awalnya sebesar 806 mg/L. Berdasarkan hasil penelitian, pada hari ke -9 kandungan TSS turun 27,23 % menjadi 586,8 mg/L. Pada hari ke -12 turun 85, 98% menjadi 113 mg/L. pada hari ke-15 kadar TSS turun kembali 94,42% menjadi 45 mg/L. Baku mutu kandungan TSS untuk limbah karet yang ditetapkan oleh
pemerintah yaitu 100 mg/L. Sehingga setelah diolah menggunakan tanaman Typha Angustifolia, kadar TSS pada limbah karet sudah berada di bawah baku mutu.
Tanaman typha Angustifolia dapat menurunkan kadar TSS karena memiliki akar serabut yang dapat menjadi tempat menempelnya koloid yang melayang di air. Semakin banyak biomassa tanaman, maka semakin banyak koloid yang dapat
menempel pada akar tanaman tersebut dan penurunan semakin meningkat. Proses filtrasi dan sedimentasi terjadi pada lahan basah buatan, sehingga material -material bahan organik akan berkurang.

D. Keefektifan

Berikut ini adalah tabel hasil penelitian yang dilakukan :

Berdasarkan ketiga tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai BOD setelah dilakukan metode tersebut pada hari ke-15 adalah 50,84 mg/L dari semulanya 508,47 mg/L, hal itu menunjukkan pengurangan sebanyak 90% dari nilai BOD awal. Nilai COD setelah dilakukan metode tersebut pada hari ke-15 adalah 493,3 mg/L dari semulanya 5009,5 mg/L, hal itu menunjukkan pengurangan sebanyak 90,15% dari nilai COD awal. Nilai TSS setelah dilakukan metode tersebut pada hari ke-15 adalah 45 mg/L dari semulanya 806 mg/L, hal itu menunjukkan pengurangan sebanyak 94,42% dari nilai TSS awal.
Nilai ambang batas untuk limbah karet untuk parameter BOD adalah 100 mg/L, untuk parameter COD adalah 250 mg/L dan untuk parameter TSS adalah 100 mg/L. Sehingga untuk parameter BOD dan TSS sudah di bawah ambang batas dari baku mutu, sedangkan parameter COD belum memenuhi standar baku mutu.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa metode tersebut cukupefektif dalam mengolah limbah karet, akan tetapi tetapi masih diperlukan metode lanjutan untuk mengolah limbah agar nilai COD pada limbah karet tersebut dapat di bawah standar baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu cara untuk menurunkan COD dapat dilakukan dengan biosand filter yang merupakan
pengembangan dari slow sand filter, dapat menghilangkan bakteri patogen melalui proses yang sama dengan saringan pasir lambat, yaitu dengan cara melewati pasir dalam filter.

III. Diskusi

1. Pertanyaan dari Nova Dwi L_K3318055_Kelompok 7
Bagaimanakah proses fitoremediasi? Bagaimanakah bentuk tanaman Typha angustrifolia dan ketersediaanya di Indonesia? Tumbuhan yang sering digunakan pada fitoremediasi?
Jawab :
a.  Proses fitoremediasi
1. Tahapan proses fitoremediasi


Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya:
a. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan. Proses ini disebut juga Hyperacumulation 
b.  Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengedapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Percobaan untuk proses ini dilakukan dengan menanan bunga matahari pada kolam mengandung radio aktif untuk suatu test di Chernobyl, Ukraina.
c.  Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. 
d. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plentedassisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri.
e.  Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhan yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun , batang, akar atau diluar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses proses degradasi.
f.  Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke admosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang. Tumbuhan thypa angustrifolia

2. Pembuatan media



Sistem aliran yang digunakan dalam penelitian pengolahan limbah karet menggunakan tanaman Typha angustifolia adalah sistem aliran bawah permukaan (Sub Surface Flow Constructed Wetland). Bak reaktor dirancang dengan panjang 60 cm, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm (Hidayah dan Wahyu, 2010). Bak Reaktor diisi dengan tanaman Typha angustifolia dengan berat 4 kg dan jarak tiap tanaman 15 cm. Pemilihan berat tanaman didasarkan pada penelitian Muhajir (2013). Sedangkan pemilihan jarak 15 cm, berdasarkan dari penelitian Hidayah dan Wahyu (2010). Pada bak reaktor terdapat media tanam yang terdiri dari kerikil dan lumpur.

Selanjutnya, limbah industri karet dialirkan ke masing-masing bak reaktor constructed wetland dengan model aliran sub surface wetland. Limbah karet diuji kadar BOD, COD, TSS dan pH sebelum perlakuan. Pengujian limbah karet dilakukan terhadap variabel waktu detensi setelah 8 hari proses adaptasi tanaman dengan limbah, yaitu pada hari ke-9, hari ke-12 dan hari ke-15 (Suwondo, dkk, 2014). Bak reaktor akan menampung limbah karet dengan volume 0,054 m3 atau 54 liter selama pengujian. Selama pengujian, bak reaktor limbah karet ditempatkan di halaman Laboratorium Teknik lingkungan Universitas Tanjungpura yang memiliki kanopi untuk mencegah masuknya air hujan, sehingga selama pengujian kualitas dan kuantitas limbah karet tetap terjaga.

b. Ketersediaan Typha angustrifolia
Lembang atau embet (Typha angustifolia L.) adalah sejenis tumbuhan serupa rumput besar yang menghuni rawa-rawa, terutama dekat pantai namun juga di pegunungan. Tanaman ini umum dijumpai, tetapi sering melimpah secara lokal saja. Tanaman lembang banyak ditemui di Bawean, Madura, dan Karimunjawa.
Tanaman Typha angustrifolia
Lembang atau embet (Typha angustifolia L.) adalah jenis tumbuhan serupa rumput besar yang menghuni rawa-rawa, terutama dekat pantai namun juga di pegunungan. Ia dikenal dengan nama-nama daerah seperti lèmbang. 
Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Plantae
Ordo : Poales
Famili : Typhaceae
Genus : Typha
Spesies : Typha angustifolia



c. Tumbuhan untuk fitoremediasi
Selain tanaman typha angustifolia, beberapa tumbuhan yang dapat digunakan untuk fitoremidiasi antara lain anturium merah/kuning, alamanda kuning/ungu, akar wangi, bambu air, cana presiden merah/kuning/putih, dahlia, dracenia merah/ hijau, heleconia kuning/ merah, jaka, keladi loreng/sente/ hitam, kenyeri merah/putih, lotus kuning/merah, onje merah, pacing merah/putih, padi-padian, papirus, pisang mas, ponaderia, sempol merah/putih, spider lili, dan lain-lain.

2. Pertanyaan dari Refisan
Fitoremidiasi itu bentuknya seperti apa? Mengapa pada pengolahan limbah karet digunakan metode fitoremidiasi, sehingga bisa digunakan untuk analisis BOD, COD, dan TSS?  Mohon maaf, mekanisme pada fitoremidiasi
Jawab :
a.   untuk bentuk fitoremidiasi dan mekanisme nya, sudah terjawab pada diskusi nomor 1. 

b. Alasan fitoremediasi bisa digunakan untuk mengolah limbah
Pada dasarnya proses yang terjadi pada wetland ini sangat alami artinya microorganisme dan tanaman membetuk ecosystem sendiri untuk berhadapan dengan jenis polutan yang masuk, jadi tingkat adaptasi/akomodasi terhadap zat dan kadar pencemararan sangat baik, berbeda dengan misalnya fakultatif pond proses akan rusak (invalid) jika ada B 3 yang masuk atau jika jika beban pencemaran meningkat lebih dari 20 % akan terbentuk algae bloom.

3. Pertanyaan dari Ibu Nurma
a.  Apakah terjadi kesamaan penurunan pada BOD dan COD? Jika terjadi kesamaan penurunan, pada hari ke berapakah penurunan tersebut terjadi?
b.  Saat pengendapan atau sedimentasi sudah mencapai tingkat kejenuhan, biasanya akan terjadi elusi atau peningkatan kembali.  Dalam fitoremidiasi ini langkah apa yang dilakukan saat sudah jenuh? 

Jawab :
a.  Terjadi penurunan yang hampir sama pada BOD dan COD pada hari ke-15 dimana hari ke-15 merupakan hari terakhir penelitian yaitu sebesar 90% pada BOD dan 90,30% pada COD.

b.  Salah satu penanganan tanaman yang telah digunakan untuk fitoremidiasi saat sudah mengalami kejenuhan yaitu dengan recovery atau pengambilan kembali logam -  logam yang memiliki nilai ekonomi tinggi (contohnya emas).  Namun jika logam yang diserap tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, maka tanaman itu dapat dibakar pada suhu tinggi dan kemungkinan diperoleh energi. Cara lain yang dapat dilakukan terhadap biomassa yang berikatan  dengan logam berat adalah dengan dibakar menggunakan insenerator. 

IV. Daftar Pustaka

Abdi, Bambang, dkk. (2017). Studi Distribusi Total Suspended Solid (TSS) di
Perairan Pantai Kabupaten Demak Menggunakan Citra Landsat. Jurnal Geodesi Undip. Vol (6) , No 1

Boyd, C.E. (1990). Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station, Auburn University, Alabama.

Irawanto, Rony. (2010). Fitoremediasi Lingkungan dalam Taman Bali. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, LIPI. 

Metcalf & Eddy, Inc. (1991). Wastewater Engineering: treatment, disposal, reuse.3rd ed. (Revised by: G. Tchobanoglous and F.L. Burton). McGraw-Hill,Inc. New York, Singapore.

Nasrullah, Syarif. dkk. (2017). Pengolahan Limbah Karet Dengan Fitoremidiasi Menggunakan Tanaman Typha angustifolia. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah.Vol 5 No.1

Umaly, R.C. dan Ma L.A. Cuvin. (1988). Limnology: Laboratory and field guide,Physico-chemical factors, Biological factors. National Book Store,Inc. Publishers. Metro Manila.





Minggu, 27 September 2020

Alternatif Untuk Klorofluorokarbon (CFC)


7.1. Pengantar

Chlorofuorokarbon (CFC), senyawa yang mudah menguap yang memiliki jangka hidup panjang di atmosfer, dan turut menyebabkan kehancuran lapisan pelindung bumi stratosfer (ozon). karena memiliki jangka hidup yang panjang di atmosfer, CFC dianggap menyumbang pemanasan global. Pada akhir tahun 1970 penjualan CFc untuk aplikasi pendinginan, pembersihan, dan busa isolasi terus meningkat. Tahun 1987 pada bulan september PBB menandatangani protokol Montreal. Ketentuan dalam perjanjian ini yaitu, tinjauan berkala pengembangan ilmu pengetahuan dan usulan pengurangan 50% dalam produksi CFC tahun 1988. Penelitian berikutnya menghasilkan revisi, pada bulan juni 1990, yang menuntut diberlakukannya larangan penuh atas produksi CFC dan oktaf selama tahun 2000 di negara-negara maju.

Untuk menggantikan CFC industri telah memusatkan perhatian pada pengembangan dan penilaian hidroklorofluorokarbon (HCFC) dan hidrofluorokarbon (HFC) karena memiliki fungsi yang sama dan kadar racun lebih rendah. Kehadiran hidrogen dalam molekul-molekul pengganti mengurangi stabilitas di atmosfer . Hal ini memungkinkan degradasi mereka di bawah stratosfer, sehingga mengurangi odp mereka serta GWPs (potensi pemanasan Global) yang relatif ODPS dan GWPs dari beberapa molekul sasaran diilustrasikan dalam gambar 1.

7.2. Sintesis

7.2.1. 1 1,1, 1,2- tetrafluoroetthane, CF3CH2F (HFC-134a)

Beberapa pendekatan untuk sintesis ini telah dilaporkan, menggunakan berbagai bahan awal, termasuk hidrokarbon, hidrokarbon halogenasi, olefin, dan halo-olefin. Penambahan ikon dari HF pada substrat olefinik, pertukaran halogenasi dan halogen, disproporsionasi, klorofluorinasi, isomerisasi, dan bydrogenolysis merupakan sebagian besar reaksi berguna yang digunakan. Sejumlah besar katalis telah dilaporkan atau digunakan untuk melaksanakan reaksi ini, dalam tahap cairan dan penguapan. Material spekulan yang telah menerima perhatian yang cukup banyak dibahas pertama diikuti oleh pendekatan yang dilaporkan lainnya.

7.2.1.1 Dari Trichloroethylene (TCE)

Rute yang paling langsung menuju HFC-134a terdiri dari reaksi TCE dengan HF untuk menghasilkan CF-CH CI (HCFC-133a) yang diikuti dengan penggantian klorin yang tersisa dengan fluorin.

CCl2= CHCl + 3HF ---->CF3CH2Cl + 2 HCl

CF3CH2Cl = HF ---->CF3CH2F + HCl

Konversi fase penguapan dari TCE ke HCFC-133a telah dilakukan secara keseluruhan menggunakan katalis berbasis kromium(III). aliran produk dari reaksi HCFC-133a dan HF mengandung sejumlah kecil olefin , seperti CF2=CHCl.

7.2.1.2 Dari Tetrachloroethylene (Perchloroethylene, PCE)

PCE diklorinasi untuk menghasilkan hexachloroethane, yang kemudian bereaksi dengan HF dalam fase cair menggunakan katalis berbasis antimon konvensional, atau dalam sistem uap berbasis chrome (persamaan 3 - 5). fase cair beroperasi pada suhu 1600 c sedangkan sistem uap pada 2500 - 4000 c.

CCl2=CCl2 + HF--->CCl3CCl3

CCl3CCl3 + 3HF --->CF2ClCFCl2 + 3HCl

CF2ClCFCl2 + HF ---> CF2ClCF2Cl + HCl

CF2ClCF2Cl --->CF3CCl3 (fase cair dengan katalis Friedel-Craft)

CF2ClCF2Cl --->CF3CFCl2 (isomerisasi)

CF3CCl3 + HF --->CF3CFCl2 + HCl (eksotermik dan cepat, diolah dengan HF dalam fase cair dan uap)

 CF2CFCl + H2 ---> CF3CHFCl + CF3CH2F + CF3CH3 (Hidrogenolisis fase uap CFC-134a menggunakan katalis paladium)

7.2.1.3. Pendekatan lain

Dari alternatif untuk dua pendekatan utama HFC-134a yang baru saja dijelaskan, beberapa memiliki potensi untuk pengembangan komersial dan beberapa adalah metode yang berguna untuk produksi skala kecil.

Pendekatan dua langkah dari CFC-113 seperti dalam persamaan 10 dan 11 memungkinkan untuk komersial. Namun sistem katalitik khusus haruslah dikembangkan untuk tahap pertama, karena dalam praktik normal CFC-113 memberi klorotrifluoroetilen (CIFE) daripada trifluoroetilen yang diinginkan 

CF2ClCFCl2 + 2H2 --->CF2=CHF + 3HCl

CF2=CHF + HF --->CF3CH2F

CF2ClCCl2F + H2 --->CF2=CClF + 2HCl

7.2.2. 2,2-Dichloro-1,1,1-Trifuoroethame, CF3CHCl2, (HCFC-123)

Seperti HCFC-134a, beberapa rute ke HFC-123 telah diusulkan. Meskipun kelas reaksi yang sama seperti yang terkait dengan produksi HRC-134a terlibat, katalis dan variabel proses tidak tampak luas.

7.2.2.1. Dari Perchloroethy lene (PCE)

Sintesis langsung HCPC-123 dapat dicapai melalui reaksi yang dikatalisasi dari PCE dengan HF menggunakan fase cair atau uap.

CCl2=CCl2 + 3HF --->CF3CHCl2 + 2HCl

Sejumlah kecil isomer CF2ClCHFCl yang secara termodinamika kurang stabil juga telah diamati. Produk yang mengandung hidrogen ini berasal dari bersaing penambahan HF versus klorinasi PCE sebagai langkah awal dan selanjutnya pertukaran halogen.

CCl2=CCl2 + 3HF ---> CF2ClCHFCl + 2HCl

7.2.2.2 Dari trichloretilene (TCE)

Pendekatan berdasarkan TCE melibatkan persiapan awal HCFC-133a(CFCHCI. Seperti yang dibahas di bagian 7.2.1.2), diikuti dengan monoklorinasi menengah. Keuntungan dari suhu rendah suhu rendah atau fotoklorinasi adalah produksi hanya satu isomer yaitu HCFC-123, sedikit peliuang untuk isomerisasi. Gugus trifluorometil tampaknya stabil dalam kondisi ini.

7.2.2.3 Metode lain - lain

Ekuilibrasi berbagai substrat dapat menjadi metode yang berguna asalkan selektivitas tinggi ke HCFC -123 yang diinginkan dapat diperoleh. Misalnya , terbentuk HCFC -123 ketika campuran CF3CCH dan CF3CH2Cl melewati kromium oksida pada suhu tinggi.

7.2.3.  2 — choro-1,1,1,2 tetrafuoroetthane, CF3CHFCI (HCFC-124)

Metode-metode sudah dijelaskan untuk konversi PCE ke HCFC-123 (bagian7.2.2.1) atau HFC-134a (bagian 72,1) mencakup pembentukan HCFC-124 sebagai sebuah produk sampingan. Optimalisasi proses tersebut untuk memaksimalkan produksi HCFC-124 dan pengembangan sistem katalitik baru telah menjadi perhatian utama.

7.2.4. Pentafluoroetthane, CF3CHFl (HFC-125)

Prosedur sintesis yang telah dikembangkan untuk HCFC-123 terutama yang dimulai dari PCE , juga dapat digunakan untuk sintesis dari HFC-125. penambahan HF awal diseluruh ikatan rangkap PCE , diikuti oleh pertukaran klorin , akan menghasilkan HFC -125. selain itu PCE dapat juga diolah dengan Ch dan HF untuk menghasilkan chloropentaluoroethane (CFC -115) diikuti oleh hidrogenolisis ikatan C-Cl.

CCl2=CCl2 + 5HF ---> CF3CHF2 + 4HCl

CCl2=CCl2 + Cl2 + 5HF --->CF3CF2Cl + 5 HCl

CF3CF2Cl + H2 ---> CF3CHF2 + HCl (hidrogenolisis termal)

7.2.5. 1, 1-dichloro-1-fuoroetthane, CFCl2CH3, (HCFC-141b)

Dua rute langsung tersedia untuk sintesis HCFC-141b, salah satunya melibatkan pertukaran halogen (persamaan 18) dan penambahan HF lainnya dalam ikatan C-C (persamaan 19)

CH3CCl3 + Hf ---> CH3CFCl2 + HCl

CH2=CCl2 + HF --->CH3CFCl2

Penambahan HF ke vinilidena klorida pada persamaan 19 menghasilkan HCFC-141b tanpa produk sampingan HCl.

7.2.6. 1,1- difluoroethane, CHF2CH3, (HFC-152a)

7.2.6.1. Dari Acetylene

Rute yang paling langsung ke HFC-152a adalah tambahan HF ke asetilena (persamaan 20). Kedua proses fase cairan dan penguapan tersedia. Banyak sistem katalisis dan proses perbaikan telah dilaporkan.

CH≡CH + 2HF ---> CH3CHF2

7.2.6.2. Dari vinil klorida

Reaksi vinil klorida dengan HF menghasilkan HFC-152 a. Pada fase uap alumina berfluorida atau aluminium fluorida yang mengandung garam logam telah banyak digunakan. Pada fase cair prosedur dengan adanya SnC4 sebagai katalis dan distilasi produk di keberadaan HF anhidrat menghasilkan HFC-152a bebas dari vinil klorida.

CH2=CHCl + 2HF --->CH3CHF2 + HCl

7.2.6.3 Metode lain

Kedua isomer dikloroetana telah diubah menjadi HFC=152a dengan HF dalam proses fase cair dan uap. Fluoronasi fase cair 1,1 -dikloroetana dalam kehadiran baik SbCl575 atau SbF576 pada -10 - 15oc memberikan hasil yang baik dari HFC-152a. Reaksi fase uap 1,2-dikloroetana dengan HF diatas kromium (III) oksida juga dapat menghasilkan selektivitas yang baik untuk HFC-152a.

7.2.7. Dichloropentafuoropropanes

Dua isomers posisi spesifik dari C3HF5Cl2 digunakan sebagai pengganti CFC-113 yaitu CF3CF2CHCl (HCFC-225ca) dan CF2ClCF2CHFCl (HCFC-225cb).

7.3 Aspek Perdagangan 

Beberapa perusahaan mengumumkan rencana komersialisasi beberapa alternatif khususnya HCFC-141b, HCFC-123 , dan HFC-134a. Pabrik utama untuk HFC-134a ditugaskan di AS (DuPoint) dan Inggris (ICI) pada akhir tahun 1991. HFC-152 telah tersedia komersial sejak 1964. Program untuk Toksisitas Fluorokarbon Alternatif Pengujian (PAFTT) melibatkan banyak perusahaan. Selain itu, ada juga Studi Akseptabilitas Lingkungan Fluorokarbon Alternatif (AFEAS). Tujuan dari studi ini untuk menilai dampak pengganti CFC terhadap lapisan ozon, pemanasan global dan hujan asam.

7.4 Properti  

Data proprerti fisik yang sedang dikembangkan, ada dalam tabel berikut

7.5 Aplikasi 

7.5.1 pendingin

Aplikasi CFC terbesar adalah pada AC dan kulkas. Alternatif utama yang disarankan adalah HFC-134a. untuk menggantikan CFC -II disarankan HCFC-123. campuran pengganti yang lain juga sedang di uji untuk menyesuaikan dengan properti yang diinginkan.

7.5.2 Agen Berbusa

Busa poliuretan dan poliisosianurat diproduksi menggunakan CFC-II. Pengganti yang diusulkan untuk pembuatan busa adalah HCFC-123, HCFC-141b, dan HCFC-22.

Busa termoplastik umumnya menggunakan CFC-12 untuk bahan atau agen peniupnya. Pengganti yang disarankan yaitu termasuk HCFC-124, HCFC-22, HCFC-142b, HCFC-134a, dan HCFC-152a

7.5.3 Pelarut 

CCF-113 dan metil kloroform banyak digunakan sebagai pelarut dalam industri. HCFC-141b dan HCFC-123 , serta campuran azeotropnya telah diusulkan untuk memenuhi beberapa aplikasi.  Baru - baru ini, HCFCs-225 ca dan cb telah diusulkan untuk menggantikan CFC-113.


Selasa, 29 Oktober 2019

POSTER MSG



POSTER MSG


STANDAR KOMPETENSI

STANDAR KOMPETENSI

memahami sejarah, sifat kimia, dan fisika serta bahaya penggunaan MSG secara berlebihan.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN 

  1. Pembaca dapat mengetahui sejarah ditemukannya MSG
  2. Pembaca dapat mengetahui beberapa proses yang digunakan untuk membuat MSG
  3. Pembaca dapat mengetahui sifat kimia dan fisika dari MSG
  4. pembaca dapat mengetahui dampak buruk dari penggunaan MSG secara berlebihan
  5. pembaca dapat mengetahui berbagai bahan alam yang dapat menggantikan penggunaan MSG

FAKTA MONOSODIUM GLUTAMATE

MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)


Penemu dari MSG adalah Prof.Kikunae Ikeda yang merupakan seorang guru besar di Universitas Kerajaan Tokyo Jepang. Pada awalnya , pria kelahiran 8 Oktober 1864 itu terusik karena ada rasa lain saat ada rasa lain ketika ia mengecap asparagus, buah tomat, keju, dan daging. Rasa itu berbeda dari empat rasa yang sudah di kenal yakni manis,asam,pahit,dan asin.

Akhirnya pada tahun 1907,Prof.Ikeda memulai eksperimennya untuk mengidentifikasi sumber rasa itu. Ia tahu bahwa sumber itu terdapat pada kaldu yang terbuat pada kaldu yang terbuat dari kombu (semacam ganggang laut) yang ia temukan pada masakan tradisional Jepang. Diawali dengan menghasilkan kaldu kombu dalam jumlah yang besar,ia berhasil mengekstrak kristal asam glutamat.
Glutamat adalah asam amino yang membangun gugus protein. Dari 100 gram kombu kering,bisa dihasilkan 1 gram glutamate. Dari hasil ekstraksinya,Prof.Ikeda menemukan senyawa yang memiliki rasa yang selama itu ia cari. Ia kemudian menamakan senyawa baru itu sebagai fifth taste atau rasa kelima. dalam bahasa Jepang  rasa ini disebut umami. Kata umami sendiri memiliki arti lezat.

Prof. Ikeda mengungkap, rasa lezat disebabkan oleh molekul glutamin yang merupakan senyawa turunan dari glutamate (GLU) yang kemudian menjadi bahan dasar MSG. Hasil temuannya ini kemudian ia laporkan pada tahun 1909 dalam The Journal of the Chemical Society of Tokyo yang terjemahannya baru dipublikasikan hampir satu abad kemudian , yakni pada tahun 2002.
Berbekal temuannya ,Prof.Ikeda kemudian membuat bumbu masak. Caranya , glutamat harus terlebih dulu memiliki karakteristik fisik yang sama dengan bumbu yang sudah ditemukan sebelumnya. seperti halnya gula dan garam, glutamat harus mudah larut dalam air, tapi tidak menyerap kelebapan sehingga mencair atau sebaliknya, mengeras.

Kemudian Prof.Ikeda menemukan bahwa Monosodium Glutamate (MSG) memiliki sifat sebagai benda yang awet disimpan dan memberi rasa yang kuat dan lezat.MSG kemudian menjadi bumbu yang ideal dalam hal bentuk, bau hingga dampaknya yang bisa meningkatkan selera makan. Setelah dipatenkan, Prof Ikeda kemudian menjual hasil penelitiannya itu ke pabrik penyedap makanan yang sampai sekarang masih menjadi produsen MSG terbesar di dunia.

MSG memiliki rumus kimia C5H8NO4Na berbentuk serbuk kristal putih dengan titik lebur 232 0C.  Nama IUPAC dari MSG yaitu sodium-2-aminopentanedioate. Kandungan zat dalam MSG ada 3 yaitu : asam glutamate 78%, natrium 12% , dan air 10%. Zat utamanya yaitu asam glutamat.







Sejak pertama kalinya diluncurkan ke pasar, MSG telah diproduksi dengan tiga metode, yaitu :

  1. Hidrolisis protein nabati dengan asam hidrolisis protein nabati dengan asam hidroklorida untuk memutuskan ikatan peptida (1909-1962)
  2. Sintesis kimia langsung dengan akrilonitril (1962-1973)
  3. Fermentasi bakteri (yang dilakukan saat ini).
Lantas,bagaimanakah penggunaan MSG di Indonesia? 

Sejauh ini,makanan di Indonesia banyak yang menggunakan MSG. mulai dari makanan berat sampai makanan ringan semuanya tidak lepas dari MSG. Bagaimanakah efek penggunaan MSG itu sendiri?
Menurut U.S Food and Drug Administration (FDA) ,MSG merupakan zat yang cukup aman untuk di konsumsi. Namun perlu diingat bahwa aman disini berarti sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. karena aman atau tidaknya suatu zat tergantung pada dosisnya. dosis MSG yang dianjurkan 30 mg/berat badan. Misalnya berat badan 50 kg ,maka dosis MSG yang direkomendasikan kurang lebih 1,5 g/ hari.

Dampak penggunaan MSG secara berlebihan memiliki dampak yang berbeda-beda pada setiap orang. Konsumsi MSG yang berlebih dalam jangka panjang terbukti dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan obesitas. Ada juga yang beranggapan bahwa penggunaan MSG berlebihan dapat menyebabkan diabetes. Akan tetapi hal ini secara ilmiah belum terkonfirmasi. MSG telah digunakan sebagai aditif makanan sejak lama dan bisa menimbulkan dampak berbahaya apabila dikonsumsi secara berlebih, seperti: berkeringat, detak jantung cepat, mati rasa,kesemutan, mual, nyeri dada, sakit kepala, kulit menjadi merah, tubuh menjadi lemas dll.

Untuk menanggulangi dampak buruk dari MSG,kita dapat mengurangi konsumsi MSG setiap harinya. Jangan sampai konsumsi MSG kita melebihi batas yang dianjurkan. Selain itu,kita juga dapat  menggantikan MSG dengan jenis makanan yang dapat meningkatkan rasa umami secara alami. Bahan alami tersebut contohnya antara lain tomat,kecap asin,jamur,sawi putih,kecap ikan, rumput laut dan minyak zaitun.





Teknik Sampling Limbah Cair

Teknik Sampling Limbah Cair Acuan SNI 6989.59:2008 I.  Pendahuluan limbah merupakan sisa atau buangan dari industri maupun dari rumah tang...